Selamat Datang di Blogku

Monday 17 April 2017

Belajar Dari (Film) India



Tak ada orang Indonesia yang tak kenal dengan India. Terutama karena film-filmnya yang selalu bikin baper orang-orang yang menontonnya. Bukan hanya kaum muda bahkan kaum tua pun masih doyan dengan film India. Tidak hanya di desa tetapi di kota pun sama. Hal itu dikarenakan alur cerita yang ciamik serta jejeran aktor dan aktrisnya yang rupawan. Wajar saja karena memang perfilman India merupakan produsen film terbesar di dunia yang didistribusikan dan diputar di 90 negara.
Sebelum lebih jauh bicara film India, sebetulnya film itu apa sih? Kenapa kita mesti peduli. 
Film adalah rangkaian gambar bergerak yang memberikan informasi dalam waktu tertentu (Irwansyah, Seandainya Saya Kritikus Film, 2009). Film saat ini sudah menjadi media informasi yang efektif selain media untuk berekspresi dan pengembangan seni, pendidikan, budaya, hiburan serta sebagai komoditas ekonomi. Tentu saja hal itu (bisnis film) sangat menjanjikan jika pihak yang berkepentingan – dalam hal ini pemilik modal/produser – pandai dan pintar dalam memilih dan memilah ide cerita yang akan diangkat, pengarah cerita (sutradara), para pelakon, serta para pendukung lainnya.
Kembali lagi ke film India, yang mana apa yang kita bahas diatas sebelumnya telah dijalankan oleh mereka (Industri perfilman India) dengan sangat maksimal yaitu seni, budaya, pendidikan, hiburan serta ekonomi. Beberapa film India bahkan melakukan syuting di luar negeri khususnya Eropa dan Amerika untuk menunjang cerita film dengan pemandangan-pemandangan indah nan menawan yang secara tidak langsung juga telah ikut mempromosikan tempat-tempat tersebut kepada dunia. Bahkan pemerintah dari tempat yang dikunjungi oleh insan film India akan merasa bangga jika negara atau daerahnya menjadi lokasi syuting dan segera memberikan pelayanan terbaiknya karena daerahnya akan dikenal luas oleh dunia.
Jika kita telisik lebih jauh lagi kenapa perfilman India bisa sangat produktif dalam menghasilkan film ternyata setiap daerah di India punya pusat industri film sendiri. Misalnya saja film berbahasa Hindi berpusat di Mumbai terkenal dengan nama tidak resminya yaitu Bollywood, gabungan antara Bombay (nama lama Mumbai) dan Hollywood. Kadang-kadang istilah Bollywood ini sering salah merujuk untuk seluruh film India. Padahal Bollywood hanya film yang berbahasa Hindi.
Sedangkan film berbahasa Tamil berpusat di Kodambakkam di kawasan Chennai disebut dengan Kollywood. Film berbahasa Telugu berpusat di Hyderabad yang disebut dengan Tollywood. Film berbahasa Malayam berpusat di Kerala disebut dengan Mollywood. Film berbahasa Kannada yang berbasis di Bengaluru ini dijuluki dengan Sandalwood. Agak lucu mungkin di telinga orang Indonesia tapi begitulah adanya. Selanjutnya film berbahasa Bengali yang berada di kawasan Bengal Barat disebut dengan istilah Tollygunge.
Film berbahasa Marathi yang berpusat di Maharashtra ini merupakan salah satu pusat produksi film tertua di India karena film bisu pertama tentang Raja Harishchandra pada tahun 1913 berbahasa Marathi. Film berbahasa Bhojpuri yang diproduksi di kawasan Bihar Barat dan Timur Uttar Pradesh banyak beredar di kawasan Delhi dan Mumbai. Film berbahasa Punjabi berawal dari Calcutta, India yang kini lebih dikenal dengan nama Kolkata. Namun sekarang industrinya sudah berpusat di Lahore, yang menjadi pusat kawasan Punjab. Mulai tahun 2000-an, film Punjabi sudah berani memasang budget yang lebih tinggi dan beranjak bersaing dengan film Bollywood. Bahkan, mereka sudah berhasil membuat film 3D, yaitu Pehchaan 3D yang dirilis pada tahun 2013. Selanjutnya Tellywood yaitu dunia pertelevisian yang juga tak kalah besarnya dengan perfilman daerah yang disebutkan sebelumnya sehingga tiap-tiap industri punya kastanya masing-masing. Dan tentu saja kasta tertinggi adalah Bollywood. Karena tak sembarang orang bisa masuk ke Bollywood.
Bahkan jika sudah masuk ke Bollywood tapi memiliki film yang buruk maka lambat laun akan tersingkir dengan sendirinya oleh persaingan yang sangat ketat. Tidak jarang kita jumpai artis-artis papan atas di industri bollywood yang berselisih hanya gara-gara film mereka dirilis pada tanggal yang sama. Sisi positifnya tentu saja dengan hadirnya film-film yang beragam dari segi cerita dan penggambarannya (sinematografi) karena setiap orang ingin membuat film yang beda dari lain sehingga pada akhirnya memperkaya khazanah perfilman itu sendiri.
Film India punya ciri khas yang masih dipertahankan sampai sekarang yaitu nyanyian dan tarian yang ada di hampir semua film (film musikal). Keduanya (nyanyian dan tarian) mempunyai andil besar dalam menambah durasi film menjadi lebih panjang. Karena memang rata-rata durasi film India berkisar 2,5 – 3 jam. Dengan durasi selama itu tentu sang pembuat film harus jeli mengatur segala sesuatunya baik alur cerita, sinematografi, bahkan tata suara agar semenarik mungkin untuk menghilangkan kebosanan para penonton. Dan memang untuk alur cerita, India memang jagonya. Sebagai contoh, cerita film yang sudah berbelit-belit pun masih bisa berakhir hanya pada satu tokoh. Sehingga penonton tidak mudah menebak jalan ceritanya.
Dan dengan adanya nyanyian/lagu di film tentu saja ikut mengangkat industri lainnya yaitu industri musik. Musik tak tak bisa dipisahkan dari India karena terkait dengan adat-istiadat, budaya, agama bahkan pendidikan. Banyak orang yang terjun ke dunia musik dan mendalaminya hingga dalam beberapa tahun ini telah lahir musisi-musisi baru yang berbakat. Para musisi inilah yang  membuat musik pada sebuah lagu yang terkadang juga merangkap membuat musik latar pada film. Untuk kualitas jangan ditanya, seorang musisi di industri musik India harus menguasai berbagai aliran musik, mulai dari tradisional, qawali, modern, pop, rock dll. Hal itu disebabkan karena sebuah film memiliki ciri dan keunikan tersendiri sehingga musik yang digarap pun harus disesuaikan.
Yang tak boleh ketinggalan adalah para penyanyi yang mengisi soundtrack sebuah film. Karena dengan dukungan mereka inilah para aktor yang berperan di film tersebut ikut melambung namanya atau juga sebaliknya. Para playback singer ini juga memiliki peranan penting untuk memainkan emosi penonton dengan lagu-lagu yang mereka bawakan. Karena saat ini selain aktor/aktris yang bermain di film, soundtrack atau lagu-lagu yang ada di dalam film merupakan alat promosi yang jitu untuk menarik penonton untuk datang ke bioskop. Bahkan penyanyi latar ini mempunyai nominasi sendiri di sebuah ajang penghargaan film.
Yang terakhir adalah tarian, biasanya dibawakan secara massal dalam sebuah lagu di film India. Hal ini juga membawa dampak positif dengan lahirnya koreografer-koreografer baru dengan ciri khasnya masing-masing. Tarian ini yang biasanya ditiru para penonton dari sebuah lagu. Apalagi tarian juga merupakan tradisi yang sudah melekat bagi warga India seperti mata uang yang tak bisa dipisahkan.

  Bagaimana dengan film Indonesia?
Film Indonesia dekade 70-an sampai 80-an juga sebenarnya sudah mempraktekkan film musikal ini. Bisa kita lihat film-film yang dibintangi Benyamin S., Warkop DKI (Dono Kasino Indro) dan Rhoma Irama yang selalu ada nyanyian di filmnya. Bedanya dengan film India adalah, lagu-lagu di film Indonesia dinyanyikan langsung oleh aktornya sedangkan di film India dibawakan oleh playback singer (penyanyi dibelakang layar).
Jika saat ini perfilman Indonesia ingin meniru atau bahkan menghidupkan kembali film musikal sah-sah saja. Dengan adanya film musikal tentu akan melahirkan musisi-musisi baru yang terasah dan terampil. Walaupun saat ini sebenarnya film Indonesia sudah memakai soundtrack (lagu), namun hanya beberapa lagu bahkan ada yang cuma 1 lagu. Itupun sifatnya hanya sebagai backsound saja bukan film musikal. Perbedaan mendasar dengan film India mungkin karena nyanyian dan tarian merupakan hal yang sudah terikat dengan agama dan budaya masyarakatnya sehingga ketika dimasukkan ke dalam film menjadi hal yang biasa. Sedangkan kita di Indonesia tidak begitu.
Selanjutnya adalah tarian. Nah, untuk yang ini Indonesia punya banyak. Satu provinsi saja seperti Sumatera Utara ada sekitar 8 suku yang tiap sukunya punya tarian daerah. Dan tiap suku itu setidaknya punya 5 tarian daerah. Jika memang kita ingin mencontoh India maka kebudayaan daerah ini bisa dieksplorasi dengan maksimal. Bukan hanya tarian tetapi juga lokasi objek wisata di suatu daerah atau bahkan lokasi yang masih “perawan”, belum banyak dikunjungi turis. Tentu saja hal ini masih mempunyai peluang yang begitu besar untuk dieksplorasi lebih jauh mengingat masih sedikitnya movie maker yang turun ke daerah-daerah.
Walaupun saat ini sudah ada beberapa perusahaan film di daerah yang dibentuk dibantu dengan sineas dari Jakarta untuk membuat film yang hampir 100 persen pengambilan gambarnya dilakukan di daerah. Dengan suasasana yang kental dengan daerah tersebut, namun tetap saja film-film seperti ini masih bisa dihitung dengan jari. Soal ide cerita, cerita rakyat daerah saja belum habis untuk diangkat ke film, belum lagi kisah-kisah pilu atau bahkan cerita politik yang tentu saja sangat menarik untuk dikupas dari sudut berbeda.
Pada akhirnya inti dari semuanya kembali ke masalah ekonomi yang kita bahas sebelumnya. Dengan banyaknya orang yang berkecimpung di dunia perfilman, tari daerah atau bahkan industri musik tentu akan menciptakan lapangan kerja baru yang tidak sedikit. Disamping untuk melestarikan kebudayaan daerah yang saat ini menunggu untuk punah jika tidak kita lestarikan.
Jika menengok ke India yang tiap daerahnya punya industri film sendiri bukan tidak mungkin Indonesia juga punya pusat perfilman daerah seperti dulu. Jika hal itu terwujud akan ada perfilman Aceh, Medan, Padang, Riau, Palembang, Bandung, Bali, Makassar, Papua dan lain-lain. Setiap daerah berlomba-lomba menghasilkan film-film terbaik yang akan diapresiasi secara nasional. Bisa saja Indonesia menjadi produsen terbesar kedua di dunia yang saat ini dipegang oleh Norwegia. Tentu bukan hal yang mustahil, bukan? Butuh proses, pasti. Ayo! Mulai dari sekarang.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More